Aku memandang cita-cita hidup ini seperti kue lapis: warna-warni.
Dulu ketika kecil, di kepalaku terbayang keinginan untuk menjadi seorang mayoret. Ini bermula, suatu ketika aku diajak bapak dan ibu menyaksikan sebuah karnaval di Yogyakarta. Bagi warga Yogya — yang kuat dengan nilai-nilai tradisi tetapi juga sangat terbuka terhadap nilai-nilai modern — karnaval menjadi tontonan yang sangat menarik. Dimulai dari derap prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, barisan pemuda dan pelajar hingga orang-orang yang berpaian aneh.
Namun ada yang istimewa: drum band mahasiswa dengan mayoret gadis cantik, anggun, dan bertubuh tinggi semampai. Sampai di rumah, sosok mayoret itu terus menari-nari di kepalaku. Dan sejak saat itu, aku pengin jadi mayoret. Mungkin menjadi semacam blessing: ketika duduk di bangku SMP Negeri 3 di kota minyak Cepu aku resmi menjadi mayoret. Keinginanku untuk terus mempertahankan prestasi akademispun terus kulakukan. Aku menjadi lulusan terbaik dikotaku. Dengan bekal itu aku menuju SMA 3 Padmanaba Yogyakarta.
Ternyata cita-cita juga seperti bunga seruni (bunga kesukaanku) yang terus hidup dan tumbuh. Aku pun ingin menjadi seorang model. Jalan pun terbuka lapang: sejak di SMA aku sudah malang melintang “bergaya” di depan kamera, bertaburan kilatan lampu blitz dan berlenggang lenggok di atas cat walk. Dari catwalk aku memasuki jagat kontestasi model Dimas Diajeng, dan terpilih menjadi Diajeng Yogyakarta tahun 1994. Ketika itu aku sedang mengenyam tahun pertama kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.
Di sela-sela kuliah, berawal dari terpilihnya aku sebagai Putri Ayu Yogyakarta 1995 yang kemudian berlaga di Jakarta, aku jadi sering bolak balik ke Jakarta memasuki dunia entertainment: ya sebagai model, ya presenter, ya pemain sinetron. Aku sempat membintangi beberapa sinetron, antara lain Bulan Masih Perawan, Anggling Darma, Panji, Doaku Harapanku, dan lainnya. Didunia iklan, aku telah dipercaya membintangi puluhan iklan produk, mulai dari produk elektronik, sabun mandi, obat sakit kepala, obat flu, produk makanan dan minuman, serta banyak lagi lainnya.
Aku mencoba memahami dunia sinetron tidak semata-semata sebagai rich and famous: cara untuk kaya dan terkenal, seperti kamus hidup kebanyakan orang Amerika yang di negeri ini diikuti banyak orang. Itu tidak buruk sepanjang dijalankan dengan sikap tanggung jawab dan bernilai. Namun, yang jauh lebih penting dari itu adalah mencoba belajar banyak tentang berbagai realitas kehidupan, bahkan yang paling keras sekali pun. Aku juga mencoba belajar tentang etos kerja, etos kreatif dan profesionalisme.
Aku tak pernah hirau dengan predikat “selebritas” yang diam-diam melekat dalam diriku. Aku tetaplah aku yang dulu, yang biasa dan selalu kikuk, selalu risi untuk “memberhalakan” popularitas. Bukankah popularitas kadang bisa menjadi semacam “predator” kebebasan kita? Bukankah popularitas kadang sering menjadi jebakan manis dan gemerlap yang justru melucuti otentisitas kemanusiaan? Ah, terlalu serius ya. Tapi biarlah….
Aku lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga Jawa yang sederhana. Keluargaku memiliki disiplin ketat dan sangat memuliakan ilmu pengetahuan dan pendidikan, ya semacam keluarga priyayi menengah. Setidaknya secara mental dan kulturnya. Karakter priyayi ini — jika boleh disebut begitu — sangat menjunjung tinggi keluhuran, kehalusan dan elegancy. Begitu pula dalam soal pekerjaan.
Bagi orang tuaku (ayahku berprofesi sebagai pegawai di sebuah perusahaan minyak sekaligus dosen dan ibuku adalah ibu rumah tangga biasa), pemain sinteron seperti profesi yang kusandang saat itu, merupakan pekerjaan “aneh” bahkan ganjil: melawan mainstream cita-cita keluarga yang menginginkan anak-anaknya untuk menjadi priyayi, misalnya dosen, pegawai negeri, pegawai swasta dan seterusnya. Ibuku, misalnya, tidak memandang profesi pemain sinteron itu rendah, namun ia hanya merasa kurang cocok saja dengan profesi itu. Beliau berharap aku menjadi seorang priyayi, tentu saja dalam ukuran beliau.
Harapan Ibu membuat aku gelisah. Profesi model dan pemain sinteron yang selama ini kusandang, diam-diam membuat jiwaku rada gelisah.
Gelisah karena dalam perjalannnya aku tidak merasa itu adalah sesuatu yang kucari dalam hidup, aktualisasi diri yang ternyata tidak terlalu sesuai dengan hatiku. Akhirnya, kuputuskan untuk kembali ke Yogya, menyelesaikan kuliahku di UGM dan kemudian segera meneruskan pendidikan S2 di bidang ekonomi. Aku pun terbang ke Amerika, meninggalkan segala yang kupunya saat itu, ketenaran, kemudahan, dan segalanya. Orang mengatakan aku “gila” (atau aneh untuk lebih halusnya). Ketika hampir sebagian besar gadis beliau bermimpi menjadi terkenal sepertiku saat itu, namun toh aku memilih untuk meninggalkan semuanya. Aku memulai dari titik nol, hidup di negara adidaya itu. Kuliah di California State University di Fresno. Tenggelam dalam kesibukan akademis, mempelajari dunia bisnis dan keuangan selama dua tahun. Dan akhirnya aku lulus dengan sangat baik.
Cita-cita ibarat kue lapis. Dan beberapa lapis kue itu sudah kunikmati dengan penuh rasa syukur. Maka, aku kini mengadapi lapis cita-cita lainnya: menjadi wanita karier. Setalah lulus S2, aku bekerja di Burasa Efek Indonesia (BEI) atau kala itu dikenal dengan nama Bursa Efek Jakarta (BEJ). Saat ini sebagai Corporate Secretary nya.
Wanita karir? Ah, betapa gagah predikat itu. Namun Anda tak perlu membayangkan hal-hal yang seram. Bagiku, rumusannya sederhanya: wanita karir adalah wanita yang independen, smart and beauty. Menurut aku, wanita itu tidak cukup cantik fisiknya. Karena jika hanya mengandalkan kecantikan fisiknya, wanita akan tersandera pada keindahannya yang ujung-ujungnya menjadi semacam obyek yang dikuasai laki-laki.
Wanita harus mandiri secara ekonomi (memiliki penghasilan sendiri, mampu memenuhi sendiri kebutuhannya). Wanita juga harus mandiri secara sosial (memiliki individualitas, integritas, komitmen, sikap sosial, cita-cita personal dan cita-cita sosial), dan mandiri secara kultural (memiliki jati diri/karakter budaya).
Untuk mampu mandiri, wanita harus memiliki kemampuan, ya ketrampilan teknis, ya kecerdasan. Wah, terlalu serius ya, kayak dosen aja (meski aku juga pernah ngicipi jadi dosen tidak tetap di Universitas Indonesia, Atmajaya dan STEKPI).
Sering, secara gampangnya, aku membayangkan sosok wanita mandiri itu seperti Hillary Clinton (Menlu USA) dan Sri Mulyani (Menkeu RI). Mereka memukau publik dengan kecerdasannya, sekaligus tampilannya yang memukau.
Kenapa aku akhirnya memasuki dunia profesionalitas semacam BEI? Ada banyak alasan, misalnya karena bidang yang aku tekuni adalah ilmu ekonomi, bisnis, keuangan, dan pasar modal Alasan lain, aku ingin bekerja di lembaga yang memiliki makna keberadaan yang signifikan (kalimat gagahnya) dengan jenjang parir yang jelas. Dan alasan lain, misalnya membahagiakan orang tua dan keluarga yang menginginkan aku menjadi “priyayi”, meskipun aku sama sekali tidak pernah berpikir soal predikat itu. Karena bagiku setiap pekerjaan yang baik dan bernilai selalu mulia. Konotasi “kepriyayian” yang melekat dalam pekerjaan, hanyalah kategori sosial yang boleh untuk dilupakan….
Membaca jejak langkah kehidupanku, aku sering tertawa. Hidup kadang memiliki semacam keajaiban, memiliki lapisan-lapisan misteri yang tidak gampang ditundukkan oleh rencana dan keinginan. Hidup memiliki arus dinamikanya sendiri, di mana kita harus memiliki orientasi dan mampu mengendarainya. Hidup memiliki banyak tikungan, bahkan jebakan di mana kita harus waskito (memiliki kepekaan, kecerdasan dan kesadaran).
Seorang teman karib di Yogya bilang: hidup Kiki merupakan “revolusi” radikal dari dunia mitos (baca: jagat entertainment) ke jagat rasional (dunia birokrasi ekonomi). Dunia entertainment, kata sahabatku, adalah jagat yang dibalut mitos-mitos tentang popularitas, kehidupan serba gemerlap, serba mewah penuh buncah-buncah impian. Sedangkan dunia birokrasi keuangan/ekonomi semacam di BEI adalah dunia realitas yang dibangun oleh kepastian: dunia yang menuntut rasionalitas karena semuanya serba terukur dan ternilai. Serem banget rumusan itu.
Di tempat tinggalku di Jakarta, aku sering membayangkan rumahku yang tenang dan teduh di Yogya. Salah satu yang mengesankan adalah kue lapis yang selalu disediakan ibuku setiap pulang dari pasar. Ketika masih kanak-kanak, kue lapis itu seperti benda “ajaib” yang sulit kubayangkan bagaimana cara membuatnya. Kini “kue lapis” itu hadir kembali dari pita ingatanku. Kue lapis bernama cita-cita itu sudah terkelupas satu-persatu, hingga sampai pada lapisan saat ini.
Setiap lapisan “kue lapis” itu merekam jejak perjalanku yang digenangi keringat kerja keras dan harapan sederhana; menjadi manusia Kiki. Seutuhnya KIKI.