Berdaulat Atas Perut Sendiri

Dalam satu debat publik di salah satu siaran televisi nasional, menjelang babak akhir pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Oktober 2004, seorang pakar pertanian yang dinominasikan sebagai salah seorang calon Menteri Pertanian dalam kabinet pemerintahan baru, mengeluarkan satu pernyataan menarik: “Kalau isi perut kita saja masih ditentukan oleh orang luar, maka sebenarnya kita belum merdeka sama sekali!”.

Meskipun penjelasan lanjut yang diberikannya masih terlalu umum dan tetap dalam arus utama (mainstream) pemikiran politik dan ekonomi pertanian selama ini, namun dia sebenarnya sudah menyinggung satu pengertian paling mendasar dari apa yang disebut sebagai ‘kedaulatan pangan’ (food sovereignty): hak dan kemampuan suatu masyarakat untuk menentukan dan mengendalikan sistem (produksi, distribusi, dan konsumsi) pangan mereka sendiri!

Pengertian ini harus dibedakan jelas dengan pengertian ‘ketahanan pangan’ (food security) yang lebih menekankan terutama pada ‘ketersediaan jumlah’ bahan pangan. Karena itu, yang terutama dipacu adalah peningkatan produksi dalam jumlah sebesar mungkin, jika perlu tanpa harus rewel mempertanyakan dari mana asal sumbernya dan bagaimana cara pengadaannya. Dalam bentuknya yang paling ekstrim, persis seperti yang diucapkan oleh Menteri Pertanian India pada tahun 1991: “….Ketahanan pangan bukanlah tersedianya bahan pangan di lumbung-lumbung, tetapi dollar di kantong”! Sehingga, pengertian asal ‘swasembada’ (self-sufficiency — mencukupi diri sendiri) pun dimencengkan menjadi ‘swadaya’ (self-reliance — mampu mengusahakan atau mengadakan, tetapi tak soal darimana pun asalnya dan bagaimana caranya, termasuk membelinya dari mana saja, karena yang penting kita punya uang)! (Shiva, 2000)1.

Di Indonesia, kredo semacam itu pun masih tetap domi-nan. Meskipun sudah mulai diakui adanya kesalahan-kesalahan mendasar dalam cara-pandang tersebut, namun kebijakan dan strategi dasar pertanian — termasuk pertanian pangan — kita sebenarnya belum menemukan landasan pijak yang kokoh ke arah kedaulatan pangan dalam pengertiannya yang sesungguhnya. Memang, semakin banyak pejabat pemerintah, pakar pertanian, dan juga masyarakat umumnya, yang mengakui perlunya mengubah orientasi yang selama ini ‘terlalu terpusat pada beras’, sehingga perlu pemberagaman jenis pangan lokal; perlunya mengurangi dampak merusak asupan kimia per-tanian terhadap lingkungan, sehinga perlu lebih mendorong praktik-praktik pertanian organik berkelanjutan; dan beberapa perubahan penting lainnya lagi.

Apa yang belum banyak — jika tak ingin dikatakan belum sama sekali — berubah adalah justru beberapa hal yang paling dibutuhkan — terutama pada tahap-tahap awal membangun landasan-pijak yang kokoh — ke arah kedaulatan pangan yang sesungguhnya adalah, paling tidak, empat hal berikut:

Pertama, kemauan dan tindakan-tindakan politik nyata untuk menjamin kepastian hukum atas kepemilikan semua aset dan prasarana utama sistem produksi pangan lokal tetap berada di tangan masyarakat lokal — termasuk dan terutama sekali para petani produsen bahan pangan. Dalam hal ini, yang paling utama adalah atas lahan-lahan pertanian, sumber-sumber air alam, kawasan-kawasan hutan primer dan penyanggah, serta benihbenih tanaman pangan lokal.

Inilah salah satu masalah yang selama ini menimbulkan banyak sekali ketegangan antara pemerintah dengan rakyat, bahkan menjadi pemicu dari banyak krisis politik dan krisis sosial di dalam negeri. Pemerintah selalu berusaha berkelit, menghindar, atau mengulurulur waktu untuk menyelesaikan masalah yang sangat mendasar tetapi memang sangat pelik ini. Namun, pada saat bersamaan, mereka membuat banyak kebijakan-kebijakan yang semakin meniadakan jaminan kepastian hukum kepemilikan semua aset dan prasarana utama tersebut bagi masyarakat lokal dan para petani produsen pangan. Sebaliknya, justru makin memberi kesempatan kepada fihak luar para pemilik modal dan perusahaan besar — untuk melakukan pencaplokan atasnya. Kasus paling mutakhir adalah pengesahan Undang-undang No.7/2004 tentang Sumber daya Air yang memungkinkan perusahaan-perusahaan swasta mengelola sumber-sumber air yang selama ini se-sungguhnya merupakan milik umum bersama (common, public goods).

Padahal, titik-tolak untuk menyelesaikan masalah ini sebenarnya sudah tersedia. Amandemen Kedua dan Ketiga Konstitusi (Undang-undang Dasar 1945) telah mencantumkan hal tersebut secara jelas dan tersurat, demikian juga Keputusan MPR RI (TAP MPR) No.IX/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam. Tetapi, seperti nasib UU No.5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria yang tidak pernah diterapkan secara nyata dan bersungguh-sungguh, semua usulan untuk segera mensahkan undang-undang pengelolaan sumberdaya alam yang menjamin kepastian hukum kepemilikan atas sumber-sumber agraria bagi rakyat dan petani, tetap terkatung-katung tanpa penyelesaian. Bandingkan, misalnya, dengan undang-undang sumberdaya air tadi, atau undang-undang kehutanan, atau pertambangan, yang dengan kecepatan menakjubkan dapat diselesaikan dan disahkan dalam hitungan bulan saja. Semua itu menunjukkan bahwa kepentingankepentingan modal besar lah yang masih diutamakan, belum ada kemauan sungguhsungguh untuk justru menyelesaikan persoalan-persoalan yang lebih mendasar seperti pembaharuan pertanian (agrarian reform) dan kemandirian sistem pangan.

Kedua, kemauan dan tindakan-tindakan politik nyata untuk bersungguh-sungguh mengembalikan kendali utama sistem pertanian dan produksi pangan ke tingkat lokal, atau ke tingkat terbawah yang paling mungkin. Apa yang dikenal dengan sebutan ‘asas subsidiaritas’ (subsidiarity principle) ini, sangat hakiki untuk menjamin bahwa masyarakat lokal — termasuk dan terutama para petani produsen bahan pangan — benar-benar ‘berdaulat’ menentukan pilihan-pilihan pangan mereka sendiri dan keseluruhan sistem produksi, distribusi, dan konsumsinya. Tugas utama pemerintah, karena itu, adalah terutama hanya memfasilitasi masyarakat-masyarakat lokal tersebut — misalnya, dengan menyediakan keputusan-keputusan politik dan hukum yang tegas-tegas melindungi mereka, termasuk dari ancaman pencaplokan atau pendiktean preferensi pangan oleh perusahaan-perusahaan besar agrobisnis, nasional maupun internasional — agar lebih mampu melakukan pilihan-pilihan dan mengendalikan sistem pangan mereka sendiri. Semua kebiasaan selama ini yang serba ditentukan di tingkat nasional, atau serba harus ditentukan sendiri dan langsung oleh pejabat pemerintah, sudah harus mulai ditinggalkan.

Itu semua, memang, menuntut perubahan mendasar dalam sistem politik dan hukum nasional secara menyeluruh ke arah desentralisasi. Dan, inilah nampaknya yang masih enggan dilaksanakan sungguh-sungguh oleh pemerintah dan para politisi kita sampai saat ini, hampir dalam segala hal. Salah satu contoh kasusnya yang paling jelas adalah kebijakan desentralisasi pemerintahan melalui UU No.22/1999 tentang Otonomi Daerah. Undang-undang yang mulai mengarah pada pelaksanaan asas sub-sidiaritas tersebut, sempat terkatung-katung tanpa Peraturan Pelaksanaan yang jelas, sementara para politisi juga birokrat dan elit terpelajar–yang selama ini diuntungkan oleh sentralisasi kekuasaan yang serba terpusat di tingkat nasional, terus-menerus menggoyahnya dengan menyajikan berbagai kasus atau ekses pelaksanaannya yang masih mencari-cari bentuk, dikesankan sedemikian rupa bahwa ‘otonomi daerah itu jelek’, bahkan ‘berbahaya bagi persatuan bangsa’, lalu perdebatan akhirnya justru melupakan hal lebih substansial bahwa otonomi dan desentralisasi adalah salah satu bagian hakiki dari demokrasi dan jalan ke arah penegakan hak asasi warga-negara. Belum lagi teruji apakah memang benar desentralisasi sistem tersebut gagal atau tidak, telah diputuskan secara tergesa-gesa, menjelang habisnya masa jabatan Presiden Megawati Soekarnoputri, untuk mengamandemen dan menggantinya dengan UU No.32/2004. Undang-undang baru ini justru cenderung untuk kembali ke pola-pola sentralisasi lama.

Padahal, UU No.22/1999 tersebut sebenarnya menye-diakan suatu kerangka kerja kelembagaan politik lokal — terutama pada tingkat desa — yang memungkinkan masyarakat-masyarakat lokal yang sangat beragam di negeri ini benar-benar ‘berdaulat’ terhadap pengelolaan sumber-daya setempat, termasuk membangun suatu sistem pangan lokalnya sendiri.

Ketiga, sangat berkaitan dengan hal pertama dan kedua di atas tadi, adalah ketegasan sikap untuk menjadikan pembangunan sistem pangan nasional yang bertumpu pada sistem pangan lokal yang khas dan beragam, yang tidak tunggal atau serba seragam — sebagai suatu ‘sistem eksklusif’ yang tidak harus tunduk pada berbagai peraturan rezim ekonomi dan perdagangan internasional saat ini yang justru akan lebih dan sangat merugikan ke-pentingan-kepentingan nasional dan lokal kita sendiri. Hal ini terutama berkaitan dengan tekanan-tekanan yang semakin keras dari organisasi-organisasi ‘multilateral'(?) seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan terutama sekali saat ini — Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)!

Basis kesadaran untuk itu sebenarnya sudah mulai tumbuh, terutama di kalangan perutusan Indonesia di fora perundingan-perundingan dagang internasional nya WTO, sehingga Indonesia adalah anggota aktif dari ‘Kelompok Negara-negara Sefaham’ (Like Minded Group/LMG) — bahkan memimpin satu kelompok khusus dari gabungan 33 negara sedang berkembang (G33) — yang menuntut perubahan-perubahan dan kaji-ulang semua peraturan WTO yang tidak adil selama ini, termasuk perkecualian-perkecualian khusus dalam kebijakan nasional sektor pertanian dan produksi pangan. Masalahnya adalah bahwa banyak pejabat pemerintah di dalam negeri yang tidak memahami bagaimana sebenarnya pertarungan kepen-tingan tersebut berlangsung di fora internasional. Apa yang dirundingkan oleh perutusan kita di WTO, justru sering ‘ditelikung’ oleh kebijakan-kebijakan pejabat pemerintah di dalam negeri sendiri, misalnya, dalam kasus heboh impor paha ayam dari Amerika Serikat pada awal tahun 2002 (Jhamtani, 2005). Selain masalah-masalah teknis koordinasi, kasus semacam itu menunjukkan masalah yang lebih mendasar: belum adanya kefahaman mendalam dan keberanian untuk bersikap tegas. Ada kecenderungan kuat untuk masih ingin dianggap sebagai ‘anak manis’ — seperti ketika zaman Orde Baru dulu, dimana Indonesia mendapat julukan tersebut karena kepatuhan membayar utang-utang luar negerinya — semata-mata untuk menyenangkan dan mendapat perhatian lebih dari para juragan internasional meskipun, sebenarnya, justru merugikan kepentingan-kepentingan nasional dan lokal kita sendiri.

Nampaknya, kita harus lebih memberanikan para pejabat pemerintah saat ini untuk tidak perlu merasa ‘malu’ dan ‘rendah diri’, untuk lebih menegakkan kepala dan bermartabat, menghadapi kepongahan rezim internasional yang tidak adil tersebut, yang telah mengarah ke suatu pemaksaan kehendak atau ‘penjajahan baru’ oleh negara-negara kaya dan maju atas negara-negara miskin dan berkembang di Dunia Ketiga. Karena, mereka sendiri sebenarnya sangat munafik. Dengan alasan-alasan membebaskan arus perdagangan internasional dari berbagai hambatan — terutama menggunakan perjanjianperjanjian WTO — negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang, sampai saat ini memproteksi habis-habisan sektor pertanian dan produksi pangan mereka antara lain, dengan subsidi besar-besaran, termasuk pemberian subsidi ekspor hasil pertanian mereka, yang terang-terangan bertentangan dengan retorika mereka sendiri dan peraturannya WTO — tetapi justru mendesak (bahkan mengancam) kita untuk mempreteli semua piranti perlindungan terhadap sektor pertanian dan produksi pangan kita selama ini.

Jika mereka melakukan semua itu selama ini, mengapa kita tidak boleh?

Keempat, usaha yang lebih bersungguh-sungguh dan sistematis mendidik semua kalangan dan lapisan masya-rakat kita untuk memahami kembali makna dan kedudukan sangat menentukan dari sistem pangan lokal ke arah kedaulatan pangan, sebagai salah satu pilar utama ke arah kedaulatan rakyat, kedaulatan warga negara, yang sesungguhnya. Katakanlah, ini semacam ‘pendidikan politik ekonomi pangan’ dengan pendekatanpendekatan dan wawasan yang bersifat menyeluruh (holistic).

Salah satu penyumbang utama bagi kemerosotan sistem pangan lokal maupun nasional kita selama ini, justru adalah diabaikannya masalah tersebut — atau diberikan dengan pendekatan dan wawasan yang sama sekali berbeda — dalam hampir semua sistem pendidikan kita, di sekolah-sekolah, rumah tangga, majelis-majelis warga, apalagi media massa — yang sudah sejak lama sering dikecam sebagai penyebar utama ‘penjajahan rasa’ (taste imperialism) atau, istilah yang lebih baru, ‘penjajahan tata boga’ (gastronomic colonization)2. Soal pangan umumnya masih terbatas diajarkan dengan pendekatan sains murni — dalam pelajaran biologi atau kimia; atau sekadar unsur seni kepatutan penyajian dan cita-rasa saja — misalnya, melalui apa yang selama ini dikenal sebagai Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Pelajaran ‘politik-ekonomi pangan’ hanya diberikan pada tingkat pendidikan akade-mis di perguruan tinggi, itupun hanya pada fakultas atau jurusan tertentu saja, dan umumnya memang sangat ‘akademis murni’ dan, tentu saja, lebih diwarnai oleh teori-teori arus utama politik dan ekonomi pertanian yang dominan, yang lebih berorientasi pada kepentingan agroindustri dan agrobisnis besar dalam suatu sistem ekonomi dan perdagangan yang lebih berorientasi pada pasar dan persaingan internasional. Akibatnya, sebagian besar teknokrat dan birokrat pemerintah membuat kebijakan-kebijakan pangan yang sama sekali tidak mendukung pengembangan sistem pangan lokal ke arah kedaulatan pangan yang sesungguhnya.

Empat hal di atas menyediakan suatu tantangan baru bagi gerakan-gerakan perubahan sosial di Indonesia untuk menggarapnya secara lebih khusus dan terfokus.

Tetapi, mengapa pangan?

Masalahnya adalah karena ini merupakan salah satu isu yang nyaris belum tertangani secara terfokus dalam gerakan-gerakan perubahan sosial di Indonesia. Mungkin karena kita makan setiap hari sama seperti kegiatan rutin keseharian lainnya — lantas kita sering lalai mempertanyakan hal-hal yang lebih mendasar mengenai soal ini. Memang, ada banyak organisasi-organisasi non pemerintah (ORNOP) yang sudah menyentuh, langsung atau tidak langsung, masalah ini, terutama mereka yang bergerak dalam isu-isu lingkungan hidup, konsumen, dan gerakan-gerakan petani. Tetapi, tetap saja, soal pangan belum merupakan isu utamanya yang digarap secara khusus dan terfokus. Atau, justru terjebak dalam konsep ketahanan pangan dengan pendekatan dan wawasan yang dominan selama ini.

Sebagai contoh, salah satu daerah ‘langganan rawan pangan’ di Indonesia, yakni Pulau Sumba, khususnya Sumba Timur. Hampir semua ORNOP lokal disana menyebut masalah kerawanan pangan tersebut dalam agenda program kerja mereka. Tetapi, semuanya baru menyentuh lapisan permukaan dari permasalahannya, umumnya adalah aspek-aspek teknis produksi dan distribusi bahan pangan saja, atau pengelolaan sumberdaya dan lingkungan untuk produksi pangan. Yang memprihatinkan adalah bahwa banyak dari program mereka yang justru bisa mengancam ketahanan pangan jika tidak kedaulatan pangan lokal dalam jangka-panjang. Misalnya, penekanan yang masih terlalu berorientasi pada tanaman perdagangan (cash crops). Bahkan, ada yang secara tidak sadar mengajarkan kepada petani untuk mulai menganggap tanaman pangan mereka (terutama padi, jagung, dan sesayuran) lebih sebagai tanaman perdagangan juga. Akibatnya adalah pemandangan ironis: produsen pangan menjual hasil produksinya yang jauh lebih baik (misalnya, padi atau beras lokal yang bermutu dan berharga lebih mahal), lalu membeli pangan yang jauh lebih jelek (misalnya, beras impor untuk bantuan pangan darurat yang diselewengkan dan dijual di pasar gelap, tentu saja, dengan harga yang jauh lebih murah). Tetapi yang lebih memprihatinkan adalah kenyataan bahwa banyak ORNOP tersebut yang mulai mengalihkan penduduk, terutama kaum perempuan pedesaan, dari sektor pertanian pangan ke sektor lainnya, terutama ke industri kerajinan tenun ikat kain Sumba yang terkenal eksotik dan memang mahal.

Beberapa aktivis ORNOP tersebut mulai melangkah lebih maju dengan mencoba mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Sumba Timur. Mereka, misalnya, mulai aktif melobi atau dengar-pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang membahas kebijakan, strategi, dan alokasi anggaran belanja pemerintah untuk sektor pertanian dan pangan. Tetapi, masalahnya tetap sama saja. Tidak adanya wawasan mendalam dan menyeluruh tentang konsep ‘sistem pangan’ dan ‘kedaulatan pangan’, akhirnya menjadikan mereka kembali menggunakan konsep ketahanan pangan yang sekadar mengejar peningkatan jumlah produksi. Salah seorang aktivis yang menjadi anggota Komisi Ketahanan Pangan Kabupaten dari unsur ORNOP, ketika dita-nya apa ukuran-ukuran kerawanan dan ketahanan pangan yang dia fahami dan gunakan selama ini, ternyata masih menggunakan ‘teori kadaluwarsa’ dari tahun 1970-an yang mulai diragukan dan dipertanyakan, yakni teori ‘setara harga beras’.

Dia baru terperangah ketika dijelaskan apa akibat-akibat serius dari penerapan teori tersebut dalam kebijakan resmi pemerintah di suatu daerah berupa pulau kecil berlahan kering, yang asal mulanya bukan penghasil padi, dan yang makanan pokok asli penduduknya bukan beras — seperti Sumba. Selain akan menggiring masyarakat semakin tergantung pada bahan pangan yang tidak atau kurang mampu mereka produksi sendiri, sehingga sema-kin banyak yang harus didatangkan dari luar dan itu berarti pada akhirnya akan menafikan tujuan dari ketahanan pangan itu sendiri — yang terpenting adalah bahwa ujung dari semua itu jelas-jelas menuju ke arah penghancuran sistem pangan lokal. Inilah salah satu hal yang da-pat menjelaskan mengapa daerah tersebut tetap saja belum mampu keluar dari ‘lingkaran setan kerawanan pangan’nya selama ini, tetap saja tercatat sebagai salah satu daerah termiskin di Indonesia. Data mutakhir dari Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 2004 menunjukkan bahwa, secara nasional sampai tahun 2002, Kabupaten Sumba Timur masih tetap berada di ‘papan bawah’ berda-sarkan indeks kemiskinan penduduknya, yakni di urutan 329 dari 366 kabupaten dan kota seluruh Indonesia, atau, peringkat-37 termiskin. Salah satu indikator utamanya adalah proporsi belanja rumah tangga untuk pangan yang masih sangat tinggi, yakni 74,5% dari rerata total belanja rumah-tangga sebesar hanya Rp 116.600 per bulan (UNDP-BAPPENASBPS, 2004).

Dan, bukan hanya Sumba Timur yang menyolok sekali indikator kemiskinannya tersebut dalam kaitannya dengan pangan. Laporan yang sama menunjukkan bahwa hampir semua kabupaten dan kota di Indonesia masih mematok angka rerata di atas 40% belanja rumah tangga penduduknya habis untuk membeli bahan pangan saja. Perkecualian hanya terjadi pada beberapa daerah, seperti Jakarta dan beberapa kota besar lainnya (UNDP-BAPPENAS-BPS, 2002; 2004). Selain sebagai indikator yang menunjukkan betapa semakin senjangnya ketidakdilan dalam distribusi dan konsumsi pangan kita secara nasional, data itu sekaligus menunjukkan betapa kian rawannya sistem-sistem pangan lokal kita sebagai pusat produksi utamanya. Dan, bukankah ini juga menelanjangi ‘keberhasilan semu’ dari apa yang pernah dibanggakan sebagai ‘swasembada pangan nasional’?

Buktinya, kita sudah menjadi negara pengimpor beras!

Konsep ‘kedaulatan pangan’ memang nisbi masih baru di Indonesia. Masih cukup terbatas informasi dan bahan-bahan yang membahas khusus soal tersebut secara lebih rinci. Sehingga, buku dari Hines ini akan sangat membantu mengisi kekurangan tersebut.

Tetapi buku Hines ini sebenarnya tidak hanya bicara soal pangan dan sistem pangan. Inti gagasan utamanya justru adalah menekankan pentingnya pelembagaan demokrasi partisipatif di tingkat lokal, sebagai perlawanan terhadap rezim globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan saat ini yang tidak adil, mengancam kehidupan lapisan terbesar penduduk dunia yang masih miskin, menindas hak-hak kaum buruh, dan merusak lingkungan hidup. Karena itu, buku ini sebenarnya lebih menawarkan satu alternatif kerangka kerja dasar bagi gerakan-gerakan sosial.

Khusus untuk gerakan-gerakan sosial di Indonesia yang menentang arus globalisasi tersebut yang selama ini sebagian besar lebih memusatkan perhatian pada advokasi kebijakan dan kampanye pendapat umum pada aras nasional dan jaringan regional maupun internasional — banyak dari gagasan-gagasan Hines dalam buku ini yang mengilhami berbagai kemungkinan bentuk dan cara perlawanan yang lebih pejal dan lebih terarah. Membangun jaringan sistem-sistem pangan lokal ke arah kedaulatan pangan, hanyalah salah satunya. Dari pengalaman-pengalaman saya sendiri sebagai aktivis dan praktisi, saya melihat potensi besar gerakan-gerakan baru perubahan sosial di negeri ini dalam beberapa bidang lainnya, yakni: energi (lihat, misalnya: Syarief, 2004), perumahan rakyat, kesehatan masyarakat, dan pendidikan dasar.

Seperti halnya pangan, keempatnya juga masih tetap merupakan masalah besar yang menyangkut langsung hajat hidup keseharian lapisan terbesar rakyat Indonesia, sekaligus menyangkut isu besar hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang belum terjabarkan secara lebih rinci di kalangan gerakan-gerakan perubahan sosial. Penggarapannya secara tekun dan terfokus sampai ke tingkat penguasaan keahlian yang dibutuhkan untuk membuatnya menjadi ‘sistem-sistem swasembada lokal’ yang benar-benar bekerja secara efektif — akan sangat membantu menutupi salah satu kelemahan utama yang masih dialami oleh banyak organisasi dan jaringan gerakan perubahan sosial tersebut selama ini: basis-basis masyarakat pendukung yang terorganisir lebih luas, lintas-sektor dan daerah, tetapi dengan ikatan kepentingan yang sama dan jelas!

Yogyakarta, 1 Januari 2005.
Authors link: www.ypri.co.id

(Footnote)

  • 1 Kasus tersebut juga ditampilkan dalam buku ini, pada Kotak 1, halaman 20-22.
  • 2 Dalam buku ini, Hines menyebut acara-acara memasak dalam siaran-siaran televisi lebih semacam ‘pengalaman wisata hibur-an’ (voyeuristic experience)’ saja.

PUSTAKA

  • Hines, C. (2004). A Global Look to the Local: Replacing Economic Globalisation with Democratic Localisation. London: IIED.
  • Jhamtani, H. (2005). WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga. Jogyakarta: INSISTPress.
    Shiva, V. (2000). ‘Why Industrial Agriculture Cannot Feed the World?’. The Ecologist, special issue.
  • Syarief, E. (2004). Melawan Ketergantungan pada Minyak Bumi: Minyak Nabati & Biodiesel sebagai Alternatif dan Gerakan. Jogyakarta: INSISTPress-LPTP.
  • UNDP-BPS-BAPPENAS (2002). Towards A New Consensus: Democracy and Human Development in Indonesia; Indonesia Human Development Report 2002. Jakarta: UNDP-BPS-BAPPENAS.
  • UNDP-BPS-BAPPENAS (2004). The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia; Indonesia Human Development Report 2004. Jakarta: UNDP-BPS-BAPPENAS.

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *